Adakah yang salah dengan praktik keberagamaan masyarakat kita? Mengapa?

 Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yakni sekitar 87,2% dari total populasi. Secara teoritis, angka ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam semestinya menjadi arus utama dalam kehidupan masyarakat. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Tingginya angka kriminalitas, pergaulan bebas di kalangan remaja, praktik aborsi, penyalahgunaan narkoba, korupsi, sampai tindakan kekerasan lain justru banyak dilakukan oleh individu yang secara identitas adalah muslim.

Fenomena ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara kuantitas pemeluk agama dengan kualitas pengamalan agama.

Kajian dan Analisis Mengapa Fenomena Ini Terjadi

Adakah yang salah dengan praktik keberagamaan masyarakat kita?  Mengapa


Berikut analisis sederhana namun komprehensif untuk memahami penyebab fenomena tersebut:

A. Adanya Kesenjangan antara Identitas dan Pemahaman Agama

Banyak orang mengaku muslim karena faktor keturunan, lingkungan, atau tradisi, bukan karena kesadaran mendalam mengenai ajaran Islam. Akibatnya, praktik keberagamaan sering bersifat seremonial, bukan substansial.

Contoh:

  • Rutin beribadah, tetapi kurang memaknai nilai moral dari ibadah itu sendiri.

  • Menunaikan salat, tetapi tetap melakukan kebohongan atau korupsi.

Ajaran agama tidak cukup hanya dipahami, namun harus menjadi bagian dari pola pikir dan sikap hidup.

B. Lemahnya Pendidikan Agama yang Holistik dan Kontekstual

Pendidikan agama terkadang hanya fokus pada pengetahuan (kognitif) seperti hafalan ayat, hadis, dan teori, namun kurang menekankan pada pembiasaan (afektif) dan perilaku nyata (psikomotorik).

Akibatnya:

  • Siswa tahu definisi iman, tetapi tidak menghayatinya.

  • Remaja paham dosa dan pahala, tetapi tidak mampu menginternalisasi nilai tersebut dalam keputusan sehari-hari.

C. Pengaruh Lingkungan Sosial dan Budaya Modern

Arus globalisasi dan perkembangan teknologi menciptakan berbagai tantangan moral:

  1. Media sosial yang penuh konten negatif (kekerasan, pornografi, pamer kemewahan).

  2. Budaya hedonisme yang mengutamakan kesenangan sesaat.

  3. Normalisasi pergaulan bebas di kalangan remaja.

  4. Tekanan gaya hidup, sehingga nilai agama dianggap tidak relevan dengan realitas modern.

Akibatnya, nilai religius sering terpinggirkan.

D. Kehidupan Ekonomi yang Berat dan Ketimpangan Sosial

Kondisi ekonomi yang sulit dapat mendorong sebagian orang mengambil jalan pintas seperti:

  • mencuri,

  • korupsi,

  • penipuan,

  • perdagangan manusia,

  • pergaulan bebas yang disertai eksploitasi.

Kemiskinan tidak secara otomatis membuat seseorang jauh dari agama, tetapi tekanan hidup sering menyebabkan seseorang menjadi mudah tergoda.

E. Kurangnya Keteladanan dari Figur Publik dan Tokoh Masyarakat

Para pemimpin, pejabat, atau publik figur seharusnya menjadi contoh moral dan akhlak. Namun:

  • kasus korupsi,

  • skandal moral,

  • penyalahgunaan jabatan
    justru sering melibatkan mereka yang beridentitas muslim.

Ketika tokoh tidak memberi keteladanan, masyarakat kehilangan panutan untuk meniru akhlak Islami.

F. Praktik Keberagamaan yang Parsial dan Tidak Menyeluruh

Sebagian masyarakat hanya menjalankan aspek ibadah ritual, tetapi melupakan aspek sosial dan akhlak.

Islam memiliki tiga pilar:

  1. Aqidah

  2. Syariah (ibadah dan muamalah)

  3. Akhlak

Namun yang sering ditekankan hanyalah ibadah ritual. Padahal Nabi sendiri mengajarkan bahwa akhlak merupakan inti keberagamaan.

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Tanpa akhlak, ibadah menjadi kering dan tidak menumbuhkan perubahan perilaku.

G. Minimnya Pengawasan Keluarga dan Lemahnya Pengasuhan

Perubahan sosial membuat:

  • orang tua sibuk bekerja,

  • waktu bersama anak berkurang,

  • gadget menjadi pengganti pengasuhan.

Akibatnya, nilai agama yang seharusnya ditanamkan sejak kecil melalui keluarga tidak mendapatkan ruang yang memadai.

Islam menekankan pembinaan iman sejak kecil:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
(HR. Bukhari)

Tanpa pengasuhan yang tepat, fitrah ini mudah tergerus oleh lingkungan.

Apakah Ada yang Salah dengan Praktik Keberagamaan Kita? Mengapa?

Jawaban Singkat: Ada yang salah, bukan pada ajaran Islamnya, tetapi pada cara sebagian umat mempraktikkannya.

Berikut letak masalahnya:

1. Agama Dipahami Secara Formalis, Bukan Transformasional

Banyak yang memahami agama sebatas:

  • identitas (KTP),

  • ritual,

  • simbol,

  • tradisi.

Padahal agama seharusnya mengubah karakter, perilaku, dan pola pikir.

2. Ibadah Tidak Dikaitkan dengan Penguatan Moral

Salat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya seharusnya mencegah pelakunya dari perbuatan dosa. Namun jika ibadah dilakukan tanpa penghayatan, maka tidak terjadi transformasi moral.

3. Dakwah Kadang Lebih Menekankan Kulit, Bukan Isi

Sebagian dakwah lebih menonjolkan:

  • gaya pakaian,

  • tata cara yang sifatnya fiqhiyyah,

  • pembahasan konflik perbedaan pendapat,

Daripada fokus pada:

  • kejujuran,

  • etos kerja,

  • amanah,

  • tanggung jawab,

  • sopan santun,

  • menahan diri dari mudarat.

4. Tidak Menghubungkan Iman dengan Realitas Kehidupan

Seharusnya iman mendorong seseorang:

  • bekerja jujur,

  • berbuat adil,

  • tidak menipu,

  • tidak menyakiti orang lain.

Namun iman sering dianggap sesuatu yang terpisah dari urusan dunia seperti pekerjaan, bisnis, sosial, dan politik.

Kesimpulan Utama

  • Banyaknya jumlah umat Islam tidak menjamin kualitas praktik Islam.

  • Masalahnya bukan pada agama, tetapi pada cara menginternalisasi nilai agama dalam kehidupan.

  • Diperlukan perbaikan pada:

    • pendidikan agama,

    • keteladanan tokoh,

    • pengasuhan keluarga,

    • budaya sosial,

    • internalisasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari.

Tags:

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!